Penulisan Kreatif

Oleh Etgar Keret


Cerita pertama yang ditulis Maya berkisah tentang sebuah dunia di mana orang-orang dapat membelah dirinya menjadi dua alih-alih bereproduksi. Di dalam dunia tersebut, setiap saat orang bisa menggandakan diri menjadi dua, dan belahan mereka masing-masing berumur separuh dari diri mereka yang sebelumnya. Beberapa orang memilih melakukannya ketika mereka muda; misalnya, seseorang berumur delapan belas tahun membelah diri menjadi dua bocah berumur sembilan tahun. Yang lain akan menunggu sampai mereka telah memantapkan diri secara profesional dan secara finansial dan melakukan hal itu hanya ketika mereka sudah memasuki usia pertengahan. Tokoh utama wanita Maya tidak membelah diri. Dia telah mencapai usia delapan puluh tahun dan, walaupun mendapat tekanan sosial terus menerus, tetap bersikeras untuk tidak membelah diri. Di akhir cerita, dia mati.

            Itu cerita yang bagus, kecuali di bagian akhir. Ada suatu kemuraman di bagian tersebut, pikir Aviad. Muram dan tertebak. Namun Maya, di kelas menulis yang dia ikuti, sebenarnya mendapat banyak pujian untuk bagian akhir itu. Si pengajar, yang kiranya merupakan seorang penulis terkenal, meskipun Aviad tak pernah mendengar namanya, bicara kepada wanita itu bahwa ada semacam tusukan oleh kebanalan penutup cerita itu, atau semacam kekacauan. Aviad melihat betapa pujian itu membuat Maya bahagia. Dia begitu senang ketika menceritakan hal itu kepadanya. Dia mengutip apa yang dikatakan si penulis terkenal kepadanya sebagaimana orang-orang mengutip selarik ayat dari Injil. Dan Aviad, yang mula-mula mencoba menyarankan akhir cerita yang berbeda, mengubah pikirannya dan berkata bahwa itu semua hanya soal selera dan bahwa ia tidak begitu mengerti tentang hal itu.

            Ibunyalah yang menyarankan agar dia mengikuti kelas menulis kreatif. Ibunya bilang bahwa salah seorang anak gadis temannya telah mengikutinya sekali dan sangat menyukainya. Aviad juga berpikir bahwa sebaiknya Maya lebih sering ke luar rumah dan melakukan sesuatu yang dia suka. Lelaki itu selalu dapat menyibukkan dirinya sendiri dengan pekerjaan, namun, semenjak keguguran, perempuan itu tak pernah meninggalkan rumah. Setiap kali ia masuk rumah, ia menemukan perempuan itu di ruang tamu, duduk tegak di atas bangku. Tidak membaca, tidak menonton teve, bahkan tidak menangis. Ketika Maya mempertimbangkan kursus tersebut, Aviad tahu bagaimana cara meyakinkannya. “Pergilah, coba ikuti sekali,” katanya, “kau akan merasa seperti seorang anak yang pergi berkemah.” Kemudian, ia sadar bahwa apa yang ia katakan tentang perumpamaan anak itu adalah hal yang sensitif, setelah apa yang mereka alami dua bulan sebelumnya. Namun Maya justru tersenyum dan berkata bahwa mungkin benar yang dia butuhkan sekarang adalah pergi berkemah.

            Cerita kedua yang ditulisnya adalah tentang sebuah dunia di mana di dalamnya kau hanya bisa melihat orang yang kau cintai. Si protagonis adalah seorang pria yang sudah menikah dan sangat mencintai istrinya. Suatu hari, istrinya berjalan tepat ke arahnya di lorong rumah dan gelas yang dia pegang terjatuh dan pecah di lantai. Beberapa hari kemudian, dia duduk di atas suaminya ketika ia sedang tertidur di kursi. Beberapa kali, dia menggeliat-geliat sebelum duduk di atasnya sambil permisi; ada sesuatu yang dipikirkannya; dia sama sekali tidak melihat ketika dia duduk. Namun sang suami mulai curiga bahwa dia tidak lagi mencintainya. Untuk menguji teorinya, ia memutuskan untuk melakukan langkah tegas: ia mencukur bagian kiri kumisnya. Ia pulang dengan memamerkan kumis yang hanya sebelah, menggenggam seikat bunga berbentuk bintang. Istrinya berterimakasih untuk bunganya dan tersenyum. Ia dapat merasakan wanita itu meraba-raba udara ketika dia mencoba untuk memberi ciuman kepada suaminya. Maya memberi judul ceritanya “Kumis Sebelah,” dan berkata pada Aviad bahwa ketika dia membacanya keras-keras di kursus, beberapa orang menangis. Aviad berkata, “Wow,” dan menciumnya di kening. Malam itu, mereka bertengkar karena hal kecil yang konyol. Wanita itu lupa menyampaikan pesan atau sesuatu semacam itu, dan suaminya berteriak ke arahnya. Ia membentak-bentak, dan pada akhirnya meminta maaf. “Seharian penuh aku bekerja,” katanya dan menyentak kaki wanita itu, mencoba mengeluarkan amarah yang penghabisan. “Apa kau memaafkanku?” Dia memaafkannya.

            Pengajar kursus itu telah menerbitkan sebuah novel dan sebuah kumpulan cerita. Dua-duanya gagal sukses, namun mendapat beberapa ulasan yang bagus. Setidaknya, itulah yang dikatakan wanita penjaga toko buku di dekat kantor Aviad kepadanya. Novelnya sangat tebal, enam ratus dua puluh empat halaman. Aviad membeli buku kumpulan ceritanya. Ia menyimpannya di laci meja kerjanya dan mencoba membaca sedikit ketika rehat makan siang. Setiap cerita di buku kumpulan itu berlatar di banyak negara asing. Itu semacam cerita gimik. Tulisan di sampul belakang mengatakan bahwa si penulis pernah bekerja selama bertahun-tahun sebagai pemandu wisata di Kuba dan Afrika dan bahwa perjalanannya telah mempengaruhi gaya kepenulisannya. Ada juga foto hitam-putih kecil si penulis. Di dalamnya, ia melontarkan senyum sombong seseorang yang bangga akan pencapaiannya sendiri. Si penulis telah berkata pada Maya, tuturnya pada Aviad, bahwa ketika kursus berakhir ia telah mengirim cerita wanita itu ke editornya. Dan, meskipun dia tidak terlalu berharap, beberapa penerbit sedang mencari talenta muda.

            Cerita ketiganya diawali dengan kekonyolan. Berkisah tentang seorang wanita yang melahirkan seekor kucing. Si tokoh utama merupakan suami si wanita, yang curiga bahwa kucing itu bukanlah anaknya. Seekor kucing jantan gemuk yang ganas yang selalu tidur di atas penutup tempat sampah yang berada tepat di bawah jendela kamar tidur pasangan itu melemparkan pandangan menghina pada si suami setiap kali ia turun untuk membuang sampah. Akhirnya, terjadi pergulatan antara si suami dengan si kucing. Si suami melempar sebongkah batu ke arah si kucing, yang membalas dengan gigitan dan cakaran. Suami yang terluka itu, bersama istri dan anak kucing yang sedang disusui, pergi ke klinik untuk menyuntikkan anti rabies ke tubuhnya. Ia merasa malu dan sangat kesakitan namun mencoba untuk tidak menangis selagi mereka menunggu. Si anak kucing, turut merasakan sakit, melepaskan diri dari pelukan sang ibu, mendekati lelaki itu, dan menjilati wajahnya dengan lembut, memberi semacam hiburan. “Meow.” “Kau mendengarnya?” si ibu bertanya kegirangan. “Dia bilang ‘Ayah’.” Di titik itu, si suami tak mampu lagi menahan air matanya. Dan, ketika Aviad membaca bagian itu, ia juga harus menahan air matanya agar tidak ikut menetes. Maya bilang dia mulai menulis cerita itu bahkan sebelum dia tahu bahwa dia hamil lagi. “Bukankah ini aneh,” katanya, “alam bawah sadarku bahkan mengetahuinya lebih dulu dibandingkan otakku.”

            Selasa berikutnya, ketika Aviad harusnya menjemput wanita itu setelah kelas selesai, ia muncul setengah jam lebih cepat, menempatkan mobilnya di tempat parkir, dan masuk untuk menemuinya. Maya terkejut ketika melihatnya masuk kelas, dan ia mendesaknya untuk memperkenalkan dirinya dengan si penulis. Si penulis diselimuti bau losion tubuh. Ia menjabat tangan Aviad dengan licinnya dan berkata padanya bahwa jika Maya telah memilihnya untuk menjadi pendamping hidup, ia pasti merupakan orang yang sangat spesial.

            Tiga minggu kemudian, Aviad mendaftar kelas menulis untuk pemula. Ia tidak mengatakan apapun tentang hal itu kepada Maya, dan, supaya aman, ia berkata kepada sekretarisnya agar jika ada telepon dari rumah dia harus bilang bahwa ia sedang ada pertemuan penting dan tidak dapat diganggu. Anggota lain kelas tersebut kebanyakan wanita yang lebih tua, yang memberi pandangan hina kepadanya. Si pengajar muda bertubuh kecil itu memakai sebuah syal, dan para wanita di kelas membicarakan si pengajar, berkata bahwa dia hidup di perkampungan padat yang sibuk dan menderita kanker. Dia meminta semuanya untuk berlatih dengan menulis otomatis. “Tulis apa saja yang ada di pikiran kalian,” katanya. “Jangan pikirkan, tulis saja.” Aviad mencoba berhenti berpikir. Itu sangat sulit. Seorang wanita yang lebih tua di dekatnya menulis dengan gelagapan, seperti seorang murid yang mengerjakan ujiannya dengan terburu-buru sebelum sang guru meminta mereka untuk meletakkan pensil, dan setelah beberapa menit ia pun mulai menulis.

            Cerita yang ia tulis adalah tentang seekor ikan yang berenang dengan girang di luasnya lautan ketika seorang penyihir jahat akhirnya mengubahnya menjadi seorang pria. Si ikan tidak terima dengan perubahan itu dan memutuskan untuk mengejar si penyihir jahat dan memintanya untuk mengembalikan dirinya menjadi seekor ikan. Karena dulunya ia adalah ikan yang gesit dan pemberani, dalam pengejaran itu ia memutuskan untuk menikah, dan bahkan mendirikan sebuah perusahaan kecil yang mengimpor produk plastik dari Asia Timur. Dengan bantuan pengetahuannya yang sangat luas buah dari pengembaraannya di tujuh samudra selama menjadi ikan, perusahaan itu semakin maju dan bahkan semakin dikenal umum. Sementara itu, si penyihir jahat, yang sedikit kelelahan setelah melakukan kejahatan selama bertahun-tahun, memutuskan untuk menemukan seluruh makhluk yang telah dia sihir, meminta maaf kepada mereka, dan mengembalikan mereka menjadi bentuk semula. Di satu titik, dia bahkan pergi menemui si ikan yang telah dia ubah menjadi seorang lelaki. Sekretaris si ikan memintanya untuk menunggu sampai si ikan selesai melakukan rapat satelit dengan rekan-rekan kerjanya di Taiwan. Di bagian ini dalam hidup si ikan, ia bahkan kesulitan untuk mengingat fakta bahwa dirinya sebetulnya seekor ikan, dan perusahaannya sekarang mengontrol separuh dunia. Si penyihir menunggu beberapa jam, namun ketika dia melihat bahwa pertemuan itu tak akan berakhir dalam waktu dekat, dia naik sapunya dan terbang pergi. Si ikan terus melanjutkan hidupnya dengan semakin baik, sampai suatu hari, ketika sudah benar-benar tua, ia menatap ke luar jendela salah satu dari lusinan gedung-gedung tepian pantai yang dibelinya dalam sebuah kesepakatan dengan penjual real-estate, dan melihat laut. Dan tiba-tiba ia teringat bahwa dirinya seekor ikan. Seekor ikan yang sangat kaya yang mengontrol banyak sekali anak perusahaan yang mengatur saham pasar di seluruh dunia, namun tetap saja dirinya seekor ikan. Seekor ikan yang, bertahun-tahun lamanya, tidak merasakan asinnya garam lautan.

            Ketika si pengajar melihat bahwa Aviad telah meletakkan bolpennya, dia menunjukkan pandangan bertanya. “Aku tidak mempunyai akhir,” ia berbisik penuh rasa maaf, menjaga suaranya pelan supaya tidak mengganggu si wanita tua yang masih terus menulis.


(Diterjemahkan oleh Irman Hidayat dari “Creative Writing” karya Etgar Keret, dimuat di New Yorker. Diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Inggris oleh Sondra Silverston.)

Legenda

 Oleh Jorge Luis Borges


Cain dan Abel bertemu setelah Abel meninggal. Mereka sedang berjalan melintasi gurun, dan melihat satu sama lain dari kejauhan, sebab keduanya sama-sama tinggi. Dua bersaudara itu duduk di atas tanah, menyalakan api, dan makan. Mereka duduk dengan tenang, seperti orang-orang yang keletihan ketika malam datang. Di langit, sebuah bintang berkedip-kedip, bintang yang belum diberi nama. Dalam siraman cahaya api, Cain melihat di bagian atas kepala Abel terdapat bekas hantaman batu, dan dia menjatuhkan roti yang akan dimasukkannya ke dalam mulut dan meminta maaf kepada saudara lelakinya itu.

            “Apakah kau yang membunuhku, atau aku yang membunuhmu?” tanya Abel kemudian. “Aku tidak ingat lagi; kita di sini sekarang, bersama, seperti sebelumnya.”

            “Kini aku tahu bahwa kau telah benar-benar memaafkanku,” kata Cain, “sebab melupakan berarti memaafkan. Aku pun akan berusaha melupakan.”

            “Ya,” kata Abel pelan. “Selama masih ada penyesalan, masih ada pula rasa bersalah.”



*Cain dan Abel merupakan “versi Barat” dari Qabil dan Habil, putra Nabi Adam.

(Diterjemahkan oleh Irman Hidayat dari “Legend”, Brodie’s Report, Including the Prose Fictions from In Praise of Darkness (2000, Penguin Classics) karya Jorge Luis Borges. Diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke dalam bahasa Inggris oleh Andrew Hurley.)

Matinya Seorang Pegawai

Oleh Anton Chekov


Malam yang indah ketika seorang pegawai yang baik, Ivan Dmitrich Chervyakov, duduk di baris kedua sebuah gedung pertunjukan, menikmati Les Cloches de Corneville dengan bantuan kaca mata opera. Ia menonton pementasan dan berpikir bahwa dirinya merupakan manusia paling bahagia di dunia, ketika tiba-tiba—“tiba-tiba” sudah menjadi ungkapan yang basi, tapi bagaimana bisa penulis tidak menggunakannya, jika memang hidup ini dipenuhi kejutan?—tiba-tiba, wajahnya mengkerut, kedua matanya berputar ke atas, napasnya berhenti… ia lemparkan kacamata opera jauh-jauh dari mukanya, tubuhnya terperanjat dua kali di atas kursi—haaasshyuuu! Begitulah cara mengatakan ia bersin. Sekarang semua orang punya hak untuk bersin di semua tempat. Petani, inspektur polisi, bahkan anggota dewan pun bersin. Semua orang bersin—semuanya. Chervyakov tidak merasa malu, mengelap hidungnya dengan sapu tangan, dan, sebagaimana seorang yang berpendidikan, melihat sekelilingnya untuk mencari tahu apakah bersinnya telah mengganggu orang-orang. Kemudian ia merasa malu. Sebab ia melihat seorang lelaki tua bertubuh kecil duduk di baris pertama, tepat di depannya, pelan-pelan mengelap kepala botaknya hingga leher menggunakan sarung tangan, menggerutukan entah apa beberapa saat. Chervyakov menyadari bahwa orang tua itu adalah Jenderal Sipil Brizhalov dari Kementrian Komunikasi.

            “Aku bersin di belakangnya!” pikir Chervyakov.

            “Dia bukan atasanku, memang, tapi tetap saja ini memalukan. Aku harus meminta maaf.”

            Chervyakov mendekatkan tubuhnya ke depan sambil batuk kecil, dan berbisik ke telinga sang Jenderal: “Saya mohon maaf, Tuan, saya bersin… saya tidak sengaja…”

            “Berhenti bicara!”

            “Maafkan saya. Saya… itu tidak sengaja!”

            “Demi Tuhan, bisakah kau diam! Aku sedang mendengarkan!”

            Chervyakov, sedikit kebingungan, tersenyum malu-malu dan mencoba untuk mengalihkan perhatian ke pertunjukan. Ia menatap aktor-aktor, tapi tak lagi merasa menjadi manusia paling bahagia di dunia. Ia menelan penyesalan yang dalam. Berjalan menuju Brizhalov saat jeda berlangsung, ia mematung sejenak dan akhirnya, menaklukan rasa malunya, berkata:

            “Saya bersin ke arah Anda, Tuan… Maafkan saya… Anda tahu… saya tidak bermaksud…”

            “Oh, sungguh… aku sudah melupakannya, bisakah kau menyingkir?” kata Jenderal, bibir bawahnya kejang-kejang tak sabar.

            “Katanya ia sudah melupakannya, tapi aku tidak melihat hal itu di matanya,” pikir Chervyakov, menatap tak percaya ke arah Jenderal. “Ia tidak mau berbicara denganku. Harus aku jelaskan bahwa aku tidak sengaja… itulah hukum alam, di sisi lain barangkali ia pikir aku sengaja meludah ke arahnya. Bahkan jika ia tidak berpikir seperti itu sekarang, kelak ia pasti akan kepikiran! …”

            Ketika sudah pulang, Chervyakov menceritakan kepada istrinya tentang tingkahnya yang tidak sopan. Tampak baginya bahwa sang istri, setelah mendengarkan ceritanya, menganggap hal itu sangatlah tidak pantas. Benar saja, istrinya sempat gelisah beberapa saat, namun mendapati bahwa Brizhalov bukanlah atasan “mereka”, hatinya menjadi tenang.

            “Aku pikir kau harus tetap pergi dan meminta maaf,” kata istrinya. “Atau ia akan berpikir bahwa kau tidak tahu cara menjaga sopan santun di tempat kerja.”

            “Itu dia! Aku sudah mencoba minta maaf, tapi ia malah bersikap aneh. Tidak mengatakan hal yang masuk akal. Lagipula, tidak ada cukup waktu untuk berbicara.”

            Hari berikutnya Chervyakov memakai jas pegawai negeri barunya, telah mencukur rambutnya, dan pergi untuk menjelaskan kelakuannya kepada Brizhalov. Ruang tunggu di kantor sang Jenderal dipenuhi para pemohon, dan Jenderal sendiri berada di sana, menerima banyak surat permohonan. Setelah mewawancarai beberapa dari mereka, sang Jenderal mengangkat matanya pada wajah Chervyakov.

            “Tadi malam, di The Arcadia, kalaupun Anda ingat, Tuan,” si pegawai memulai, “saya—emm—bersin, dan—emm—jadi… saya mohon…”

            “Heh, apa maksudmu!” kata Jenderal. “Apa yang bisa saya bantu?” katanya pada orang berikutnya.

            “Ia tidak mau mendengarkanku!” pikir Chervyakov, pucat pasi. “Ini artinya ia marah… aku tidak bisa membiarkannya… aku harus menjelaskan kepadanya…”

            Ketika sang Jenderal, setelah mengurusi pemohon terakhir, beranjak menuju ke apartemen pribadinya, Chervyakov mengejarnya, berkata:

            “Permisi, Tuan Yang Terhormat! Tidak ada hal selain penyesalan sepenuh hati yang memberanikan saya untuk mengganggu Tuan…”

            Sang Jenderal melihat seakan-akan ia hampir menangis, dan menyuruhnya untuk pergi.

            “Kau menertawakanku, ya, Tuan!” katanya, membanting pintu tepat di depan muka si pegawai.

            “Tertawa?” pikir Chervyakov. “Aku tidak melihat ada yang lucu. Tidakkah ia mengerti, sang Jenderal itu? Baiklah, aku tidak akan menyusahkan seorang yang terhormat lagi dengan permintaan maafku. Terkutuklah dia! Aku akan mengiriminya surat, aku tidak akan menemuinya lagi! Tidak akan!”

            Banyak yang dipikirkan Chervyakov ketika ia berjalan pulang. Tapi ia tidak menulis surat itu. Ia berpikir dan berpikir namun tidak dapat menemukan bagaimana cara menuliskannya. Jadi ia berpikir untuk kembali lagi ke tempat si Jenderal esok hari untuk meluruskan hal.

            “Saya telah mengganggu Anda kemarin, Tuan,” katanya memulai ketika sang Jenderal melemparkan pandangan bertanya-tanya ke arahnya, “tidak bermaksud menertawakan Anda, sebagaimana yang Anda katakan. Saya datang untuk meminta maaf karena telah menyusahkan Anda sebab saya bersin…. Sementara untuk menertawakan Anda, saya bahkan tidak pernah terpikirkan hal tersebut. Saya tidak akan berani melakukannya. Jika kita menertawakan orang lain, betapa kita tidak punya rasa hormat… tidak ada rasa hormat untuk yang sombong…”

            “Keluar dari sini!” salak sang Jenderal, pucat dan bergetar karena marah.

            “Saya memohon ampunan Anda,” bisik Chervyakov, mati rasa ketakutan.

            “Keluar!” sang Jenderal mengulang, menghentakan kaki.

            Chervyakov merasa seakan sesuatu di dalam dirinya tiba-tiba hancur. Ia tidak mendengar atau melihat apapun lagi selama ia berbalik pergi dan keluar dari ruangan, berjalan menuju ke jalanan dan berkeliling. Ia tanpa sadar tersandung ke rumah, berbaring di atas sofa, tepat seperti kemarin, dalam pakaian jas pegawai negerinya, dan meninggal.

 

1883

(Diterjemahkan oleh Irman Hidayat dari “Death of A Clerk” karya Anton Chekov, 5 Russian Masters: Short Stories by Chekov, Tolstoy, Gorky, Dostoyevsky, Turgenev (2003, Jaico Publishing House, India). Tidak ada catatan mengenai penerjemah dari bahasa Rusia ke dalam bahasa Inggris.)

Etnograf

Oleh Jorge Luis Borges

 

Aku pernah mendengar sebuah kisah ketika di Texas, namun kisah itu terjadi di negara bagian lain. Kisah itu memiliki seorang protagonis (meski sesungguhnya di dalam setiap cerita terdapat ribuan protagonis, tampak maupun tak tampak, hidup ataupun mati). Namanya, aku yakin, adalah Fred Murdock. Tubuhnya tinggi, sebagaimana lazimnya orang Amerika; warna rambutnya tidak pirang, juga tidak hitam; roman mukanya tajam dan ia jarang berbicara. Tidak ada suatu hal ganjil pun yang melekat padanya, bahkan tidak pula keganjilan palsu yang biasa ditunjukan anak muda. Ia memiliki sikap sopan yang alami, dan ia percaya kepada buku-buku maupun orang-orang yang menulisnya. Ia seumuran itu ketika ia belum dikenal seorang pun, dan telah bersiap untuk mengambil kesempatan apapun yang terbentang di jalannya—mistisisme Persia ataupun asal-usul orang Hungaria yang belum diketahui, aljabar ataupun risiko perang, Puritanisme ataupun pesta seks. Di universitas, seorang penasihat telah membuatnya tertarik akan bahasa Indian-Amerika. Beberapa upacara adat yang semakin langka masih ada yang bertahan di satu-dua rumpun suku di luar daerah Barat; salah seorang profesor, seorang yang lebih tua, menyarankan agar ia seharusnya pergi meneliti, hidup bersama mereka, mengamati upacara adat tersebut, dan menguak rahasia yang diungkapkan dukun-dukun itu kepada para calon anggota suku. Ketika kembali nanti, ia bakal memiliki desertasi, dan universitas akan tertarik untuk menerbitkannya.

Murdock menyanggupi saran itu. Salah seorang leluhurnya pernah gugur di perang perbatasan; konflik silam yang menyeret rasnya itu kini bertautan. Ia harusnya bisa meramalkan betapa banyak halangan yang akan menghalangi jalannya; ia harus bisa meyakinkan anggota suku tersebut agar ia bisa diterima menjadi bagian dari mereka. Ia menjalani petualangan panjang. Ia hidup lebih dari dua tahun di sebuah padang tandus, terkadang ia tidur di dalam bangunan bertembok batu bata dan sesekali terlelap di ruang terbuka. Ia bangun sebelum fajar, dan tidur tepat ketika senja, dan masuk ke alam mimpi di mana bahasa yang digunakan di dalamnya bukanlah bahasa ibunya. Ia mengisi piringnya dengan makanan-makanan kasar, dan menutupi tubuhnya dengan pakaian asing, ia melupakan kawan-kawannya dan kota asalnya, ia mulai berpikir dengan cara yang ditolak oleh logika pikirannya. Selama bulan-bulan pertama menjalani pelajaran hidup ini diam-diam ia mencatat; kemudian, ia merobek catatan itu—barangkali untuk menghindari kecurigaan yang tertumpuk pada dirinya, barangkali karena ia tak lagi membutuhkannya. Setelah beberapa lama (tabah akan praktek-praktek tertentu, baik spiritual maupun fisik, yang tingkatnya semakin naik), tetua suku meminta Murdock untuk mulai mengingat mimpi-mimpinya, dan menceritakannya pada mereka setiap pagi di saat fajar. Si lelaki muda mendapati bahwa di malam-malam bulan purnama ia memimpikan banteng. Ia melaporkan mimpinya yang terus berulang ini kepada gurunya; sang guru akhirnya mengatakan padanya ajaran rahasia suku tersebut. Suatu pagi, tanpa mengatakan apapun kepada seorang pun, Murdock pergi.

Di kota, ia merasa rindu pada malam-malam awalnya di padang gersang itu ketika ia merindukan suasana kota, dahulu kala. Ia akhirnya masuk ke kantor profesornya dan berkata bahwa ia sudah mengetahui rahasia itu, namun memutuskan untuk tidak mengatakannya.

“Apa kau terikat dengan sumpahmu?” tanya si profesor.

“Bukan itu alasannya,” jawab Murdock. “Aku mempelajari sesuatu di luar sana yang tidak dapat kuungkapkan.”

“Bahasa Inggris mungkin tak cukup mumpuni untuk bisa menyatakannya,” kata profesor.

“Bukannya begitu, Pak. Sekarang, ketika aku sudah mengetahui rahasianya, aku bisa mengatakan rahasia itu dengan ratusan cara dan bahkan melalui cara-cara yang kontradiktif. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakan ini, tapi rahasia itu sangatlah indah, dan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan kita, kini bagiku terlihat begitu kacau.”

Setelah sebuah jeda ia menambahkan:

“Dan, ngomong-ngomong, rahasia itu tidak sepenting jalan yang membawaku kepadanya. Setiap orang harus melalui jalannya sendiri-sendiri.”

Sang profesor berkata dingin:

“Akan kukatakan kepada komite tentang keputusanmu. Apa kau berencana untuk hidup di antara orang-orang Indian itu?”

“Tidak,” jawab Murdock. “Aku bahkan mungkin tak akan kembali ke padang gersang itu. Apa yang diajarkan orang-orang itu padaku bisa berguna di segala keadaan dan di segala tempat.”

Itulah pokok percakapan mereka.

Fred menikah, bercerai, dan kini menjadi salah satu pustakawan di Yale.
(Diterjemahkan oleh Irman Hidayat dari “The Ethnographer”, Brodie’s Report, Including the Prose Fictions from In Praise of Darkness (2000, Penguin Classics) karya Jorge Luis Borges. Diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke dalam bahasa Inggris oleh Andrew Hurley.)